Fabel: Teriakan Burung Wuaho
Telur burung walik kembang |
Konon pada suatu hari di zaman dahulu, dalam kerajaan margastwa di suatu kawasan
hutan rimba, digelarlah sidang pengadilan atas perbuatan burung Wuaho (Tuwur Asia - Eudynamys
scolopacea) yang telah mengakibatkan kematian seekor
anak kecil burung Lunggu (Walik
kembang - Ptilinopus melanospila).
Sidang pengadilan itu dipimpin langsung oleh raja rimba
dan pembantu-pembantu yang mendampinginya.
Dalam sidang itu Lunggu menyampaikan
laporan kejadian perkaranya bahwa pada malam yang baru lewat, menjelang tengah
malam ia tersentak bangun dari tidurnya yang pulas oleh suara teriakan yang
keras dari Wuaho.
Begitu kerasnya suara teriakan itu sehingga ia dan anaknya terjatuh dari
sarang mereka berdua yang berada di cabang pohon yang cukup tinggi. Anak
tersebut terhempas pada onggokan batu dan mati.
Dengan terisak-isak dalam tangisan, Lunggu melanjutkan : “Paduka tuanku raja,
anak hamba sudah mati akibat perbuatan Wuaho. Karena itu saya meminta tuanku
paduka raja menghukum Wuaho dengan hukuman mati, dipancung atau dipenggal
kepalanya, sesuai hukum yang berlaku di kerajaan kita”.
Tuduhan, gugatan dan tuntutan dari Lunggu itu langsung didukung oleh
mayoritas dari yang hadir dalam persidangan itu. Mereka bahkan meneriakan tuntutan
supaya Wuaho dipancung kepalanya sekarang juga.
Sementara hadirin yang sisa sebagian kecil hanya termangu-mangu, tidak ada
yang membuka mulut, apalagi membela Wuaho.
Pada saat yang penuh keteganggan itu, tibalah seekor dari suku Talamisi,
tapi dari jenis yang sedikit berbeda
yang disebut Tette (Burung-cabe panggul- kelabu - Dicaeum celebicum).
Bulu bagian depannya berwarna merah-oranye. Kalau sedang berdiri atau berjalan kepala Tette selalu ditegakkan:
Wa Tette.
Ia memasuki bansal persidangan, memberi hormat kepada Raja dan para hadirin,
kemudian duduk ditempat yang masih kosong dan langsung kasak-kusuk dengan
mereka yang duduk dekat dengannya.
Ia bertanya-tanya tentang hal-hal yang terjadi sebelum ia sampai disitu.
Raja yang sedang berunding dengan para pembantunya memperhatikan Tette dan
juga kepada satwa lainnya yang masih berdatangan satu persatu.
Agaknya sesudah berunding dengan
para pembantunya, Raja telah berketetapan hati untuk keputusan vonis yang akan
dijatuhkan kepada Wuaho. Namun, karena masih ada satwa yang masih menuju ke
tempat persidangan, maka raja merasa perlu menunggu sampai semuanya telah
terkumpul bersama.
Sambil menunggu, Raja berkata kepada Tette, “Hei Tette! Jelaskan kepadaku
mengapa engkau datang terlambat dan apa pula yang engkau percakapkan dengan
mereka yang duduk di
sekitarmu?”
“Daulat tuanku Raja! Atas izin Paduka Tuanku Raja,
hamba menjelaskan bahwa sesungguhnya hamba baru mengetahui adanya sidang
pengadilan pada siang hari ini.
Sejak pagi-pagi sekali hamba
bersama teman sesuku dengan hamba berada di luar
kawasan hutan rimba ini.”
“Kami pergi ke ladang padi milik manusia petani. Di sana
kami menemukan ulat-ulat kecil merayap di batang pohon padi yang baru mulai
berbuah. Jumlahnya banyak sekali, ulat-ulat itu menjadi santapan lezat bagi
kami semua,” demikian Tette menjawab
pertanyaan raja.
“Apakah kamu makan buah padinya juga?”
“Tidak paduka tuanku Raja. Sejak leluhur kami hingga kini,
Suku Tette tidak makan padi gabah. Usus dan perut kami bisa terluka oleh
tajamnya kulit buah padi.”
Tette menambahkan, “seterusnya setelah kami semua telah kenyang,
kami pun beristirahat. Saat itu hamba memperhatikan suasana alam sekitar, hamba
merasa heran karena baik di
sekitar kami maupun dari
dalam hutan rimba ini tidak terdengar suara kicauan burung atau suara lainnya
dari warga bangsa kita margasatwa, sebagai mana biasanya pada setiap hari.”
“Lalu kami sepakat untuk segera berangkat menuju istana Paduka Tuanku Raja
untuk mencari tahu gerangan yang telah terjadi. Dan benar dugaan hamba, tepat
di pingiran kawasan hutan ini, saudara-saudara
dari suku Omang (Komang) sedang menuju ke tempat ini.”
“Hamba bertanya kepada mereka. Dari jawaban mereka tahulah hamba tentang
kejadian yang pada malam tadi dan juga tentang adanya sidang pengadilan ini. Bahkan
kami sempat singgah di tempat kejadian perkara yang ditunjuk oleh ketua suku
Omang yaitu Omang Urilin, karena pada
saat kejadian peristiwa itu mereka justru berada disela-sela onggokan batu di
mana anak Lunggu jatuh terhempas di
atasnya. Mereka
memperlihatkan ranting kering dari sarang Lunggu yang jatuh bersama anaknya. Kemudian
hamba meminta kepada teman teman hamba agar mereka membawa ranting kering itu
dan…”
“Cukup , cukup kau berbicara , Tette! Sekarang aku mengerti bahwa kau mau
membela Wuaho,” Raja membentak. “Percuma, Tette! Kesalahan Wuaho sudah
nyata sangat jelas, bahkan mayoritas
hadirin menyetujui hukuman mati untuk Wuaho. Karena itu aku justru meminta engkau,
Tette, menyatakan persetujuanmu untuk hukuman itu bagi Wuaho”.
Tette terdiam.
Burung Lunggu di sarangnya |
“Setujulah engkau hai Tette!”
Tapi Tette hanya diam.
Sekali lagi Raja bertanya, namun Tette tetap diam.
Raja marah lalu berkata, “Hai Tette! Untuk ketiga dan terakhir kali
aku bertanya, Apakah Tette setuju atas
tuntutan hukuman mati bagi Wuaho dengan memancung kepalanya?”
Tette menjawab, “Ampun beribu-ribu ampun Paduka Tuanku Raja! Hamba bersedia
menjawab sesuai kehendak Paduka Tuanku Raja dengan satu syarat. Kalau syarat
itu tidak diterima maka hamba tidak setuju.”
“Katakan Syarat itu!” tegas Raja.
“Daulat Paduka Tuanku Raja yang Arif bijaksana,
junjungan kami! Hamba bersedia menyatakan persetujuan untuk Wuaho dipenggal
kepalanya dengan syarat bahwa kepala Paduka Tuanku Raja di penggal lebih dahulu,
barulah kepala Wuaho di pancung.”
Raja sangat marah lalu membentak, “Jahanam kurang ajar engkau Tette! Aku
akan menghukum engkau atas kelancangan mulutmu. Engkau telah menghina aku. Tetapi
demi keadilan aku mau memberikan kesempatan kepadamu untuk menjelaskan atas dasar apa engkau
berkata demikian?”
“Daulat Paduka Tuanku Raja yang mensahkan dan memerintahkan pelaksanaan
undang-undang kerajaan kita, antara lain dan secara khusus untuk satwa Wuaho
adalah, bahwa:”
Demikian
Tette mengajukan penjelasannya.
“Pertama, setiap
terjadi pasang naik dan pasang surut air laut, maka menjadi tugas kewajiban
bagi satwa Wuaho untuk bersuara sekeras-kerasnya memberitahukan kepada semua satwa.”
“Kedua, setiap
kali melihat adanya ancaman bahaya atas anggota margasatwa, misalnya ada manusia
pemburu yang hendak menombak, menembak atau menyumpit, maka setiap anggota dari
satwa Wuaho yang melihatnya harus berteriak untuk mengingatkan satwa yang terancam
agar ia lari meninggalkan tempat itu.”
“Ketiga, sebagai
partisipasi kita kepada bangsa manusia, apabila Wuaho melihat seorang manusia
di kawasan hutan rimba ini sedang terancam bahaya, baik oleh manusia sesama
mereka, ataupun dari pihak lainnya maka satwa Wuaho yang melihatnya harus
berteriak keras, mudah-mudahan orang itu menyadari bahaya yang mengancamnya.”
“Keempat, karena
itu Wuaho tidak boleh tinggal berkelompok tetapi harus berpencar dengan jarak
sejauh jangkauan suara teriakan agar seluruh wilayah kawasan kita dapat dipantau
dan apabila terdapat ancaman bahaya yang
besar maka semua Wuaho dapat memberitahukannya dengan teriakan bersahut-sahutan.”
“Maka jelaslah, bahwa Wuaho yang berteriak keras tadi malam, yang tergugat
dalam perkara yang disidangkan saat ini, bersama temannya yang juga berteriak pada jarak
yang lebih jauh tapi turut dituntut oleh para pengunjuk rasa pendukung Lunggu,
mereka berdua justru melaksanakan tugas kewajiban mereka sesuai amanat
undang-undang yang disahkan dan diperintahkan pelaksanaannya oleh Paduka Tuanku
Raja. Menurut pencermatan hamba di lapangan, tidak terdapat unsur kesengajaan untuk mengejutkan.”
Tette
kembali menambahkan penjelasannya.
“Karena, pertama, mereka berdua berteriak pada jam 10 malam, sedangkan
tadi malam adalah saat bulan purnama, berarti sedikit waktu lagi terjadi
pasang-surut besar. Teman-teman mereka berdua di tempat lain yang terpisah jauh
dari mereka turut berteriak pada jam yang sama.”
“Kedua, Wuaho
yang tergugat saat berteriak berada dalam semak belukar yang lebat sedangkan
pohon di mana Lunggu dan anaknya bersarang cukup tinggi dan daunnya sangat lebat. Wuaho
tidak mengetahui bahwa di atas pohon ada Lunggu dan anaknya yang baru lahir.”
“Selanjutnya tentang ucapan hamba yang lancang di hadapan
Paduka Tuanku Raja, hamba tidak berniat menentang atau menghina Paduka Tuanku
Raja. Adalah karena kebodohan yang tidak tahu menyusun kata-kata yang tepat
maka hamba menyampaikan kata kata yang lancang tadi. Tetapi hamba berani disumpah,
hamba tidak bermaksud menghina dan menentang Paduka Tuanku Raja, junjungan hamba.
Justru untuk menyatakan kesetiaan dan ketaatan hamba pada amanat undang undang dan dukungan atas
kekuasaan Paduka Tuanku Raja maka hamba menyampaikan penjelasan dan pembelaan
untuk Wuaho demi keamanan dalam kerajaan kita.”
“Sebab
dapat dibayangakan saat ini, apa jadinya nanti bila semua Wuaho tidak lagi
melaksanakan tugasnya karena takut jangan-jangan ada lagi satwa lainnya yang
karena terkejut maka timbul lagi
peristiwa lainnya, dan akibatnya ada lagi Wuaho yang di penggal kepalanya.”
“Seterusnya
untuk lebih memperjelas hal ikhwal dalam perkara ini, hamba mohon izin Paduka
Tuanku Raja untuk menyampaikan hasil pencermatan Hamba atas keadaan dan
kebiasaan saudara- saudaraku dari suku satwa Lunggu.”
Tette diam menunggu izin Raja.
Sementara itu, semua Wuaho dan semua Omang serta beberapa satwa
lainnya berdiri satu persatu sebagai tanda dukungan kepada Tette. Rupanya
amarah Raja mulai mereda, begitu pula para pembantu Raja berbisik satu kepada
yang lainnya.
Kepada Tette yang berhenti berbicara karena menunggu izin
untuk melanjutkan penjelasannya, Raja berkata, “Silahkan melanjutkan
penjelasanmu!”
Tette berkata, “Daulat Paduka Tuanku Raja! Lebih dahulu
hamba menyampaikan pernyataan rasa sedih hamba dan turut berbelasungkawa
bersama ibu Lunggu atas kematian anaknya. Dan apabila hamba berkata-kata
menyangkut jatuhnya anak ibu, hal ini bukan bermaksud menambah derita di hati
Ibu, tetapi untuk mengungkapkan kebenaran dalam kasus perkara yang saat ini
sedang di sidangkan.”
“Paduka Tuanku Raja yang Arif bijaksana
dan hadirin yang terhormat, setelah
mencermati kebiasaan saudara-sauadaraku dari suku satwa Lunggu dalam hal pembuatan sarang mereka, ternyata
mereka sangat ceroboh. Mereka mengambil ranting-ranting kering kemudian
meletakkannya di cabang pohon. Mereka cukup teliti, karena ranting-ranting yang
mereka pilih sekalipun kering tapi cukup liat, tidak gampang patah. Begitu pula
cabang pohon untuk meletakan ranting-ranting itu bentuknya sesuai kebutuhannya.”
“Tetapi
saat mereka mengatur letak ranting-ranting itu mereka tidak merekatkan atau
mengikatnya pada cabang pohon, atau mengikat ranting itu yang satu dengan yang
lainnya. Sehingga apabila ada gerakan di atas ranting-ranting itu, tergeserlah
ranting ranting tersebut.”
“Itulah
yang terjadi saat ibu Lunggu tersentak
bangun dari tidurnya. Oleh gerakannnya yang tiba-tiba itu tergeserlah beberapa
ranting, terpisah dari yang lainnya. Maka terjadilah semacam lubang besar dan
melalui lubang itulah anak Lunggu terjatuh. Bahkan turut terjatuh pula sebuah ranting bersama
dengan anak itu. Ranting yang terjatuh itulah yang dibawa oleh teman-teman
hamba bersama saudara-saudara hamba dari Suku Omang.”
“Jadi peristiwa terjatuhnya anak Lunggu kemudian mati itu,
adalah merupakan satu kecelakaan karena kecerobohan induknya, bukan akibat dari
teriakan Wuaho. Sebab Wuaho berteriak adalah semata mata melaksanakan tugas dan
kewajibannya sesuai hukum.”
“Karena dan untuk itulah maka hamba dengan kerendahan hati kepada Paduka Tuanku Raja yang Arif bijaksana
agar tidak menghukum Wuaho, bahkan membebaskan dia dari semua tuduhan, gugatan
dan tuntutan.”
Setelah mendengar pembelaan dan penjelasaan dari Tette,
Raja menyatakan sidang diskors untuk beberapa menit dan memanggil
ketua dari semua suku-suku satwa yang hadir untuk mengadakan
perundingan.
Setelah selesai berunding, Raja membuka kembali
persidangan.
Singkat cerita, diumumkanlah keputusan Sidang Pengadilan
yaitu membebaskan Wuaho dari semua
tuduhan, gugatan dan tuntutan atasnya. Bahkan lebih dari itu diumumkan
juga bahwa atas kesepakatan bersama
dengan para Ketua Suku dari berbagai jenis satwa, maka kepada Tette di berikan
Julukan (gelar): Ruung Tette.
Selanjutnuya Sidang Pengadilan di tutup.
Tapi Cerita belum tamat.
Cekakak Talaud - si endemik penghuni hutan Karakelang |
Di luar tempat persidangan para muda-mudi dari berbagai
suku Satwa sedang menari-nari menyanyikan lagu dengan syairnya sebagai berikut
:
Ana’
i Lunggu natere- nanawo
Niapanutingiannu
Wuaho rarua
Ana
ta’i Ruung Tette,
I
Wuaho nipoto.
Napollo
si Lunggu i Wuaho nipoto
(Anak
Lunggu terjatuh
Konon karena teriakan dua ekor Wuaho
Sehingga kalau tidak ada Ruung Tette,
Si Wuaho dipenggal kepalanya
Bila dibiarkan pada tuntutan Lunggu
si Wuaho dipenggal.)
Di tempat lain yaitu di lokasi peristiwa, tibalah Lunggu
yang pulang dari persidangan. Dia melihat ke atas
onggokan batu mencari mayat anaknya, tetapi ternyata di sana
hanya ada beberapa ekor Omang kecil.
Lunggu menanyakan kepada Omang-Omang itu tentang mayat
anaknya.
Omang-Omang kecil itu menjelaskan,
“Tadi kami mengerumuni mayat anakmu lalu kami sependapat menguburkannya. Ketika
kami mulai menarik ke tanah, datanglah seekor Ular. Dia melarang kami
dan mengatakan bahwa kedatangannya justru untuk mrnguburkan mayat itu.”
Lunggu bertanya, “Di manakah
Mayat anakku dikuburkannya?”
Omang kecil itu
menjawab, “Ular itu menguburkan anakmu di dalam perutnya,
kemudian dia pergi.”
Tanpa berkata lagi Lunggu terbang ke atas
pohon yang dekat dengan tempat itu, tapi bukan ke pohon tempat sarangnya. Lunggu
menatap ke bawah ke
onggokan batu di mana
mayat anaknya mati terhempas di atasnya.
Sambil berderai air mata Lunggu meratapi nasibnya dengan
suara sendu memilukan hati mereka yang mendengarnya.
Sesudah itu terbanglah Lunggu ke kampung terdekat. Dia hinggap
di atas tiang bendera di halaman rumah Apitalau kampung itu
untuk mengadukan nasibnya.
Orang-orang di sekitar tiang bendera itu mendengar suara sendu yang memilukan hati.
Mereka menengok ke atas, ternyata suara tadi berasal dari burung
Lunggu yang hinggap di atas tiang bendera. Kepalanya tertunduk lemah dan dari matanya berderai
butir-butir air mata.
Tiba-tiba datanglah seorang pemuda dengan memegang sebuah
senapan angin, dengan sigap ia membidik
kearah burung Lunggu dan menembaknya.
Tamatlah Riwayat burung Lunggu itu.
Tidak jauh dari
tempat itu, dua ekor burung Sai’tta Ahurangan
(Cekakak Talaud - Halcyon
enigma) memperhatikan peristiwa itu, yang seekor berkata
kepada temannnya: “Kasihan
dia. Baru saja ia kehilangan anak satu- satunya, kini dia pun
mati.”
Temannya menyambung, “Ya
benar, apa mau dikata. Manusia yang sudah pandai sekalipun ternyata tidak mengerti bahasa Margasatwa.”
Seekor Burung Talamisi (Burung-madu hitam - Nectarinia
Aspasia) baru saja datang bergabung
dengan kedua burung Sai’tta itu, tapi dari semak belukar di belakang kampung
itu, seekor Wuaho berteriak keras.
Ketiga burung itu menengok ke bawah,
ternyata seorang pemuda dengan senapan angin di tangannya
sedang menuju ke pohon tempat mereka hinggap. Maka sambil mengucapkan terima
kasih kepada Wuaho, ketiga ekor burung itu terbang cepat menuju kawasan hutan.
TAMAT.
Melonguane, 22 Februari 2006.
***
Penulis adalah Gustaf A. Ulaen. Ketika membuat
fabel ini, Ulaen menjabat sebagai Ketua
Umum Presidium Adat Kabupaten Kepulauan Talaud.
Fabel
ini ditulis pada 10 tahun lalu sesuai permintaan
Michael F. Wangko, yang saat itu menjabat sebagai Tenaga Ahli Pengelolaan Kawasan Konservasi dari BirdLife Indonesia di Kepulauan Sangihe dan Talaud.
0 komentar