Fabel: Teriakan Burung Wuaho

07.18 PERKUMPULAN KOMPAK TALAUD 0 Comments Category :


Telur burung walik kembang



Konon pada suatu hari di zaman dahulu, dalam kerajaan margastwa di suatu kawasan hutan rimba, digelarlah sidang pengadilan atas perbuatan burung Wuaho (Tuwur Asia - Eudynamys scolopacea) yang telah mengakibatkan kematian seekor anak kecil burung Lunggu (Walik kembang - Ptilinopus melanospila).

Sidang pengadilan itu dipimpin langsung oleh raja rimba dan pembantu-pembantu yang mendampinginya.

Dalam sidang  itu Lunggu menyampaikan laporan kejadian perkaranya bahwa pada malam yang baru lewat, menjelang tengah malam ia tersentak bangun dari tidurnya yang pulas oleh suara teriakan yang keras dari Wuaho.

Begitu kerasnya suara teriakan itu sehingga ia dan anaknya terjatuh dari sarang mereka berdua yang berada di cabang pohon yang cukup tinggi. Anak tersebut terhempas pada onggokan batu dan mati.

Dengan terisak-isak dalam tangisan, Lunggu melanjutkan : “Paduka tuanku raja, anak hamba sudah mati akibat perbuatan Wuaho. Karena itu saya meminta tuanku paduka raja menghukum Wuaho dengan hukuman mati, dipancung atau dipenggal kepalanya, sesuai hukum yang berlaku di kerajaan kita”.

Tuduhan, gugatan dan tuntutan dari Lunggu itu langsung didukung oleh mayoritas dari yang hadir dalam persidangan itu. Mereka bahkan meneriakan tuntutan supaya Wuaho dipancung kepalanya sekarang juga.

Sementara hadirin yang sisa sebagian kecil hanya termangu-mangu, tidak ada yang membuka mulut, apalagi membela Wuaho. 

Pada saat yang penuh keteganggan itu, tibalah seekor dari suku Talamisi, tapi dari  jenis yang sedikit berbeda yang disebut Tette (Burung-cabe panggul- kelabu - Dicaeum celebicum). Bulu bagian depannya berwarna merah-oranye. Kalau sedang berdiri atau berjalan kepala Tette selalu ditegakkan: Wa Tette.

Ia memasuki bansal persidangan, memberi hormat kepada Raja dan para hadirin, kemudian duduk ditempat yang masih kosong dan langsung kasak-kusuk dengan mereka yang duduk dekat dengannya.

Ia bertanya-tanya tentang  hal-hal yang terjadi sebelum ia sampai disitu.

Raja yang sedang berunding dengan para pembantunya memperhatikan Tette dan juga kepada satwa lainnya yang masih berdatangan satu persatu.

Agaknya sesudah  berunding dengan para pembantunya, Raja telah berketetapan hati untuk keputusan vonis yang akan dijatuhkan kepada Wuaho. Namun, karena masih ada satwa yang masih menuju ke tempat persidangan, maka raja merasa perlu menunggu sampai semuanya telah terkumpul bersama.

Sambil menunggu, Raja berkata  kepada Tette, “Hei Tette! Jelaskan kepadaku mengapa engkau datang terlambat dan apa pula yang engkau percakapkan dengan mereka yang duduk di sekitarmu?”

Daulat tuanku Raja! Atas izin Paduka Tuanku Raja, hamba menjelaskan bahwa sesungguhnya hamba baru mengetahui adanya sidang pengadilan pada siang hari ini. Sejak pagi-pagi sekali hamba bersama teman sesuku dengan hamba berada di luar kawasan hutan rimba ini.”

Kami pergi ke ladang padi milik manusia petani. Di sana kami menemukan ulat-ulat kecil merayap di batang pohon padi yang baru mulai berbuah. Jumlahnya banyak sekali, ulat-ulat itu menjadi santapan lezat bagi kami semua,” demikian Tette menjawab pertanyaan raja.

Apakah kamu makan buah padinya juga?

“Tidak paduka tuanku Raja. Sejak leluhur kami hingga kini, Suku Tette tidak makan padi gabah. Usus dan perut kami bisa terluka oleh tajamnya kulit buah padi.

Tette menambahkan, “seterusnya setelah kami semua telah kenyang, kami pun beristirahat. Saat itu hamba memperhatikan suasana alam sekitar, hamba merasa heran karena baik di sekitar kami maupun dari dalam hutan rimba ini tidak terdengar suara kicauan burung atau suara lainnya dari warga bangsa kita margasatwa, sebagai mana biasanya pada setiap hari.”

“Lalu kami sepakat untuk segera berangkat menuju istana Paduka Tuanku Raja untuk mencari tahu gerangan yang telah terjadi. Dan benar dugaan hamba, tepat di pingiran kawasan hutan ini, saudara-saudara dari suku Omang (Komang) sedang menuju ke tempat ini.

“Hamba bertanya kepada mereka. Dari jawaban mereka tahulah hamba tentang kejadian yang pada malam tadi dan juga tentang adanya sidang pengadilan ini. Bahkan kami sempat singgah di tempat kejadian perkara yang ditunjuk oleh ketua suku Omang  yaitu Omang Urilin, karena pada saat kejadian peristiwa itu mereka justru berada disela-sela onggokan batu di mana anak Lunggu jatuh terhempas di atasnya. Mereka memperlihatkan ranting kering dari sarang Lunggu yang jatuh bersama anaknya. Kemudian hamba meminta kepada teman teman hamba agar mereka membawa ranting kering itu dan…”

“Cukup , cukup kau berbicara , Tette! Sekarang aku mengerti bahwa kau mau membela Wuaho,” Raja membentak. “Percuma, Tette! Kesalahan Wuaho sudah nyata sangat  jelas, bahkan mayoritas hadirin menyetujui hukuman mati untuk Wuaho. Karena itu aku justru meminta engkau, Tette, menyatakan persetujuanmu untuk  hukuman itu bagi Wuaho”.

Tette terdiam. 

Burung Lunggu di sarangnya


“Setujulah engkau hai Tette!

Tapi Tette hanya diam.

Sekali lagi Raja bertanya, namun Tette tetap diam.

Raja marah lalu berkata, “Hai Tette! Untuk ketiga dan terakhir kali aku  bertanya, Apakah Tette setuju atas tuntutan hukuman mati bagi Wuaho dengan memancung kepalanya?”

Tette menjawab, “Ampun beribu-ribu ampun Paduka Tuanku Raja! Hamba bersedia menjawab sesuai kehendak Paduka Tuanku Raja dengan satu syarat. Kalau syarat itu tidak diterima maka hamba tidak setuju.

“Katakan Syarat itu!” tegas Raja.

“Daulat Paduka Tuanku Raja yang Arif bijaksana, junjungan kami! Hamba bersedia menyatakan persetujuan untuk Wuaho dipenggal kepalanya dengan syarat bahwa kepala Paduka Tuanku Raja di penggal lebih dahulu, barulah kepala Wuaho di pancung.

Raja sangat marah lalu membentak, “Jahanam kurang ajar engkau Tette! Aku akan menghukum engkau atas kelancangan mulutmu. Engkau telah menghina aku. Tetapi demi keadilan aku mau memberikan kesempatan kepadamu  untuk menjelaskan atas dasar apa engkau berkata  demikian?”

“Daulat Paduka Tuanku Raja yang mensahkan dan memerintahkan pelaksanaan undang-undang kerajaan kita, antara lain dan secara khusus untuk satwa Wuaho adalah, bahwa:

Demikian Tette mengajukan penjelasannya.

“Pertama, setiap terjadi pasang naik dan pasang surut air laut, maka menjadi tugas kewajiban bagi satwa Wuaho untuk bersuara sekeras-kerasnya memberitahukan kepada semua satwa.

“Kedua, setiap kali melihat adanya ancaman bahaya atas anggota margasatwa, misalnya ada manusia pemburu yang hendak menombak, menembak atau menyumpit, maka setiap anggota dari satwa Wuaho yang melihatnya harus berteriak untuk mengingatkan satwa yang terancam agar ia lari meninggalkan tempat itu.

“Ketiga, sebagai partisipasi kita kepada bangsa manusia, apabila Wuaho melihat seorang manusia di kawasan hutan rimba ini sedang terancam bahaya, baik oleh manusia sesama mereka, ataupun dari pihak lainnya maka satwa Wuaho yang melihatnya harus berteriak keras, mudah-mudahan orang itu menyadari bahaya yang mengancamnya.

“Keempat, karena itu Wuaho tidak boleh tinggal berkelompok tetapi harus berpencar dengan jarak sejauh jangkauan suara teriakan agar seluruh wilayah kawasan kita dapat dipantau dan apabila  terdapat ancaman bahaya yang besar maka semua Wuaho dapat memberitahukannya dengan teriakan bersahut-sahutan.

“Maka jelaslah, bahwa Wuaho yang berteriak keras tadi malam, yang tergugat dalam perkara yang disidangkan saat ini, bersama temannya yang juga berteriak pada jarak yang lebih jauh tapi turut dituntut oleh para pengunjuk rasa pendukung Lunggu, mereka berdua justru melaksanakan tugas kewajiban mereka sesuai amanat undang-undang yang disahkan dan diperintahkan pelaksanaannya oleh Paduka Tuanku Raja. Menurut pencermatan hamba di lapangan, tidak terdapat unsur kesengajaan  untuk mengejutkan.”

Tette kembali menambahkan penjelasannya.

“Karena, pertama, mereka berdua berteriak pada jam 10 malam, sedangkan tadi malam adalah saat bulan purnama, berarti sedikit waktu lagi terjadi pasang-surut besar. Teman-teman mereka berdua di tempat lain yang terpisah jauh dari mereka turut berteriak pada jam yang sama.

“Kedua, Wuaho yang tergugat saat berteriak berada dalam semak belukar yang lebat sedangkan pohon di mana Lunggu dan anaknya bersarang  cukup tinggi dan daunnya sangat lebat. Wuaho tidak mengetahui bahwa di atas pohon ada Lunggu dan anaknya yang baru lahir.

“Selanjutnya tentang ucapan hamba yang lancang di hadapan Paduka Tuanku Raja, hamba tidak berniat menentang atau menghina Paduka Tuanku Raja. Adalah karena kebodohan yang tidak tahu menyusun kata-kata yang tepat maka hamba menyampaikan kata kata yang lancang tadi. Tetapi hamba berani disumpah, hamba tidak bermaksud menghina dan menentang Paduka Tuanku Raja, junjungan hamba. Justru untuk menyatakan kesetiaan dan ketaatan hamba  pada amanat undang undang dan dukungan atas kekuasaan Paduka Tuanku Raja maka hamba menyampaikan penjelasan dan pembelaan untuk Wuaho demi keamanan dalam kerajaan kita.

Sebab dapat dibayangakan saat ini, apa jadinya nanti bila semua Wuaho tidak lagi melaksanakan tugasnya karena takut jangan-jangan ada lagi satwa lainnya yang karena terkejut  maka timbul lagi peristiwa lainnya, dan akibatnya ada lagi Wuaho yang di penggal kepalanya.

Seterusnya untuk lebih memperjelas hal ikhwal dalam perkara ini, hamba mohon izin Paduka Tuanku Raja untuk menyampaikan hasil pencermatan Hamba atas keadaan dan kebiasaan saudara- saudaraku dari suku satwa Lunggu.

Tette diam menunggu izin Raja.

Sementara itu, semua Wuaho dan semua Omang serta beberapa satwa lainnya berdiri satu persatu sebagai tanda dukungan kepada Tette. Rupanya amarah Raja mulai mereda, begitu pula para pembantu Raja berbisik satu kepada yang lainnya.

Kepada Tette yang berhenti berbicara karena menunggu izin untuk melanjutkan penjelasannya, Raja berkata, “Silahkan melanjutkan penjelasanmu!”

Tette berkata, “Daulat Paduka Tuanku Raja! Lebih dahulu hamba menyampaikan pernyataan rasa sedih hamba dan turut berbelasungkawa bersama ibu Lunggu atas kematian anaknya. Dan apabila hamba berkata-kata menyangkut jatuhnya anak ibu, hal ini bukan bermaksud menambah derita di hati Ibu, tetapi untuk mengungkapkan kebenaran dalam kasus perkara yang saat ini sedang di sidangkan.

“Paduka Tuanku Raja yang Arif  bijaksana  dan hadirin  yang terhormat, setelah mencermati kebiasaan saudara-sauadaraku dari suku satwa Lunggu  dalam hal pembuatan sarang mereka, ternyata mereka sangat ceroboh. Mereka mengambil ranting-ranting kering kemudian meletakkannya di cabang pohon. Mereka cukup teliti, karena ranting-ranting yang mereka pilih sekalipun kering tapi cukup liat, tidak gampang patah. Begitu pula cabang pohon untuk meletakan ranting-ranting itu bentuknya sesuai kebutuhannya.

Tetapi saat mereka mengatur letak ranting-ranting itu mereka tidak merekatkan atau mengikatnya pada cabang pohon, atau mengikat ranting itu yang satu dengan yang lainnya. Sehingga apabila ada gerakan di atas ranting-ranting itu,  tergeserlah  ranting ranting tersebut.

Itulah yang terjadi  saat ibu Lunggu tersentak bangun dari tidurnya. Oleh gerakannnya yang tiba-tiba itu tergeserlah beberapa ranting, terpisah dari yang lainnya. Maka terjadilah semacam lubang besar dan melalui lubang itulah anak Lunggu terjatuh. Bahkan turut terjatuh pula sebuah ranting bersama dengan anak itu. Ranting yang terjatuh itulah yang dibawa oleh teman-teman hamba bersama saudara-saudara hamba dari Suku Omang.

“Jadi peristiwa terjatuhnya anak Lunggu kemudian mati itu, adalah merupakan satu kecelakaan karena kecerobohan induknya, bukan akibat dari teriakan Wuaho. Sebab Wuaho berteriak adalah semata mata melaksanakan tugas dan kewajibannya sesuai hukum.

“Karena dan untuk itulah maka hamba dengan kerendahan hati  kepada Paduka Tuanku Raja yang Arif bijaksana agar tidak menghukum Wuaho, bahkan membebaskan dia dari semua tuduhan, gugatan dan tuntutan.”

Setelah mendengar pembelaan dan penjelasaan dari Tette, Raja menyatakan sidang diskors untuk beberapa menit  dan memanggil  ketua dari semua suku-suku satwa yang hadir untuk mengadakan perundingan.

Setelah selesai berunding, Raja membuka kembali persidangan.

Singkat cerita, diumumkanlah keputusan Sidang Pengadilan yaitu  membebaskan Wuaho dari semua tuduhan, gugatan dan tuntutan atasnya. Bahkan lebih dari itu diumumkan juga  bahwa atas kesepakatan bersama dengan para Ketua Suku dari berbagai jenis satwa, maka kepada Tette di berikan Julukan (gelar): Ruung Tette.

Selanjutnuya Sidang Pengadilan di tutup.

Tapi Cerita belum tamat.



Cekakak Talaud -  si endemik penghuni hutan Karakelang


Di luar tempat persidangan para muda-mudi dari berbagai suku Satwa sedang menari-nari menyanyikan lagu dengan syairnya sebagai berikut :

Ana’ i Lunggu natere- nanawo
Niapanutingiannu Wuaho rarua
Ana ta’i Ruung Tette,
I Wuaho nipoto.
Napollo si Lunggu i Wuaho nipoto

(Anak Lunggu terjatuh
Konon karena teriakan dua ekor Wuaho
Sehingga kalau tidak ada Ruung Tette,
Si Wuaho dipenggal kepalanya
Bila dibiarkan pada tuntutan Lunggu
si Wuaho dipenggal.)
                  
Di tempat lain yaitu di lokasi peristiwa, tibalah Lunggu yang pulang dari persidangan. Dia melihat ke atas onggokan batu mencari mayat anaknya, tetapi ternyata di sana hanya ada beberapa ekor Omang kecil.

Lunggu menanyakan kepada Omang-Omang itu tentang mayat anaknya.

Omang-Omang kecil itu menjelaskan, “Tadi kami mengerumuni mayat anakmu lalu kami sependapat menguburkannya. Ketika kami mulai menarik ke tanah, datanglah seekor Ular. Dia melarang kami dan mengatakan bahwa kedatangannya justru untuk mrnguburkan mayat itu.

Lunggu bertanya, “Di manakah Mayat anakku dikuburkannya?”

Omang kecil  itu menjawab, “Ular itu menguburkan anakmu di dalam perutnya, kemudian dia pergi.

Tanpa berkata lagi Lunggu terbang ke atas pohon yang dekat dengan tempat itu, tapi bukan ke pohon tempat sarangnya. Lunggu menatap ke bawah ke onggokan batu di mana mayat anaknya mati terhempas di atasnya.

Sambil berderai air mata Lunggu meratapi nasibnya dengan suara sendu memilukan hati mereka yang mendengarnya.

Sesudah itu terbanglah Lunggu ke kampung terdekat. Dia hinggap di atas tiang bendera di halaman rumah Apitalau kampung itu untuk mengadukan nasibnya.

Orang-orang di sekitar tiang bendera itu  mendengar suara sendu yang memilukan hati. Mereka menengok ke atas, ternyata suara tadi berasal dari burung Lunggu yang hinggap di atas tiang bendera. Kepalanya tertunduk lemah dan dari matanya berderai butir-butir air mata.

Tiba-tiba datanglah seorang pemuda dengan memegang sebuah senapan angin, dengan sigap ia membidik   kearah burung Lunggu dan menembaknya.

Tamatlah Riwayat burung Lunggu itu.

Tidak jauh dari  tempat itu, dua ekor burung Saitta Ahurangan (Cekakak Talaud - Halcyon enigma) memperhatikan peristiwa itu, yang seekor berkata kepada  temannnya:Kasihan dia. Baru saja ia kehilangan anak satu- satunya, kini dia pun mati.”

Temannya menyambung, “Ya benar, apa mau dikata. Manusia yang sudah pandai  sekalipun ternyata tidak mengerti bahasa Margasatwa.

Seekor Burung Talamisi (Burung-madu hitam - Nectarinia Aspasia) baru saja datang  bergabung  dengan kedua burung Sai’tta itu, tapi dari semak belukar di belakang kampung itu, seekor Wuaho berteriak keras.

Ketiga burung itu menengok ke bawah, ternyata seorang pemuda dengan senapan angin di tangannya sedang menuju ke pohon tempat mereka hinggap. Maka sambil mengucapkan terima kasih kepada Wuaho, ketiga ekor burung itu terbang cepat menuju kawasan hutan.
      


TAMAT.


Melonguane, 22 Februari 2006.

 
***
Penulis adalah Gustaf A. Ulaen. Ketika membuat fabel ini, Ulaen menjabat sebagai Ketua Umum Presidium Adat Kabupaten Kepulauan Talaud.

Fabel ini ditulis pada 10 tahun lalu sesuai permintaan Michael F. Wangko, yang saat itu menjabat sebagai Tenaga Ahli Pengelolaan Kawasan Konservasi dari BirdLife Indonesia di Kepulauan Sangihe dan Talaud.

RELATED POSTS

0 komentar