Nuri Talaud yang Terancam Punah

21.50 PERKUMPULAN KOMPAK TALAUD 1 Comments Category :





Sampiri (Eos histrio) yang juga dikenal dengan nama Nuri talaud ataupun Red-and-blue Lory adalah  anggota dari keluarga Psittacidae, yakni jenis-jenis burung yang meliputi kakatua, nuri, dan betet, atau yang dikenal sebagai burung-burung paruh bengkok.


Sampiri adalah burung yang dilindungi dan merupakan jenis khas Kepulauan Sangihe dan Talaud. Jenis ini memiliki tiga anak-jenis, yaitu Eos histrio chalengeri (terdapat Miangas), Eos histrio talautensis (terdapat di Karakelang, Salibabu, dan Kabaruan), dan Eos histrio histrio (terdapat di Sangihe, Siau, dan Ruang).

Burung ini merupakan jenis pengembara lokal yang menghuni hutan primer dataran rendah dan hutan pebukitan. Mereka biasanya dijumpai berpasangan atau berkelompok kecil, namun pada waktu tidur membentuk kelompok yang besar.

Di Karakelang kelompok-kelompok tidurnya bisa berjumlah diatas seratus ekor. Mereka adalah burung yang sangat berisik dan cukup menyolok. Dalam mencari makan, mereka suka mengunjungi pohon-pohon yang sedang berbunga, termasuk pohon-pohon kelapa di daerah pesisir.

Tak Lagi Ditemukan di Pulau Lain

Di Karakelang mereka dijumpai umum secara setempat-setempat, tapi di luar Karakelang mereka kelihatannya sangat jarang atau malah sudah punah. Anak-jenis yang di Miangas (Eos histrio chalengeri) misalnya, saat ini tidak lagi diketahui nasibnya. Padahal, pada abad 19 pernah diamati kelompok-kelompok yang besar yang terbang dari pulau ke pulau untuk tidur.

Di Pulau Sangihe burung ini dilaporkan terdapat dari daerah Talawid Atas, Kedang, dan di Pegunungan Sahendarumang (yang terakhir ini mungkin berasal dari burung yang terlepas). Namun selama survey 1998-99 mereka tidak ditemukan lagi di tempat-tempat tersebut. Ada keraguan jangan-jangan populasi yang terlihat di Talawid itu adalah burung tangkapan dari Talaud yang dibawa ke Sangihe dan kemudian terlepas atau sengaja dilepas.

Pada bulan Februari tahun 1999, penduduk desa ini melaporkan kalau mereka tidak lagi melihat burung ini di kampung maupun di kebun-kebun mereka. Karena tidak ada lagi penglihatan yang bisa dikonfirmasi sejak tahun 1995, maka kemungkinan besar jenis ini telah punah dari Pulau Sangihe, dan menjadi satu-satunya jenis yang punah dari pulau ini.

Di Siau burung ini pernah dilaporkan ada. Seorang penduduk lanjut usia mengatakan burung ini umum dijumpai sewaktu dia masih kecil. Orang tua ini agaknya benar karena sejumlah spesimen yang disimpan di beberapa museum diketahui berasal dari pulau ini, diantaranya, seekor jantan yang dikoleksi pada bulan Februari 1866 (sekarang di RMNH, Leiden), dan dua lagi yang dikoleksi pada bulan Maret 1871 (sekarang di Museum Zoologi Bogor).

Meskipun demikian, ada juga pendapat kalau populasi di Siau ini berasal dari burung-burung yang diintroduksi. Apa pun pendapat itu, saat ini diyakini bahwa populasi yang di Siau telah punah.

Di Tagulandang, burung ini pernah dilaporkan umum di bagian tengah pulau pada sekitar tahun 1980-an, tapi kemudian menjadi langka dan punah pada tahun 1990-an. Di Salibabu dilaporkan pernah ada hingga sekitar awal 1990-an, tapi laporan-laporan terakhir menyebutkan kemungkinan telah punah.

Namun demikian, laporan tahun 2003 cukup membesarkan hati karena burung ini katanya masih terlihat dalam bulan Juni 1999, walaupun populasinya kecil dan kelihatannya terbatas pada habitat primer di bukit-bukit bagian tengah pulau.

Di Kabaruan tidak ada data dan kemungkinan mereka sudah punah. Ancaman utama terhadap burung ini adalah penangkapan untuk perdagangan, penebangan pohon-pohon tidurnya, dan juga perusakan hutan.

Keterancaman Sampiri di Pulau Karakelang

Dengan situasi seperti diatas, maka populasi Sampiri secara global tinggal terbatas di Pulau Karakelang saja. Hasil survey yang dilakukan bulan Maret-Juni 1999 menunjukkan bahwa populasinya disini berkisar antara 15 s/d 28 ekor per kilometer persegi di hutan primer dan 5 s/d 19 ekor per kilometer persegi di habitat sekunder.

Angka-angka tadi setara dengan jumlah total kira-kira 8.230 – 21.400 ekor untuk seluruh pulau. Angkat-angka tersebut juga menunjukkan bahwa populasi Sampiri masih stabil atau sedikit menurun bila dibandingkan dengan survey tahun 1996.

Penelitian-penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa ancaman terhadap burung ini di Karakelang adalah berkurangnya luas hutan dan adanya penangkapan. Sekalipun bisa mencari makan di habitat-habitat sekunder dan sering terlihat di perkebunan kelapa, burung ini sebenarnya memerlukan pohon-pohon hutan untuk bersarang dan tidur.

Selain itu mereka juga lebih umum ditemukan sedang mencari makan di dalam hutan daripada di habitat sekunder. Penangkapan untuk perdagangan nampaknya merupakan ancaman yang paling utama.

Sebagai contoh, selama tahun 1997 saja, ada kira-kira 1.000 ekor burung yang telah dikeluarkan dari Karakelang. Dan keadaan ini nampaknya berlangsung sampai sekarang dimana kita masih bisa menemukan orang menyeludupkan keluar Sangihe dan Talaud lewat kapal.

Keadaan diatas membuat burung yang dilindungi Undang-Undang ini digolongkan ke dalam status “Genting” (menghadapi resiko kepunahan sangat tinggi di alam dalam waktu dekat) dengan populasi yang berkurang terus.

*
Artikel ini disadur dari buku “Panduan untuk Guru” yang diterbitkan oleh Burung Indonesia. Dipublikasi ulang untuk tujuan pendidikan.

**
Michael Wangko, ketua KOMPAK, merupakan salah satu tim penulis dalam buku tersebut.

RELATED POSTS

1 komentar

  1. Permisi, selamat siang. Adakah kontak yang dapat dihubungi dari KOMPAK TALAUD ini? Saya tertarik dan ingin belajar lebih terkait burung nuri sulawesi ini. terimakasih.

    BalasHapus