Nuri Talaud yang Terancam Punah
Sampiri
(Eos histrio) yang juga dikenal dengan nama Nuri talaud ataupun
Red-and-blue Lory adalah anggota dari keluarga Psittacidae, yakni
jenis-jenis burung yang meliputi kakatua, nuri, dan betet, atau yang dikenal
sebagai burung-burung paruh bengkok.
Sampiri adalah burung yang
dilindungi dan merupakan jenis khas Kepulauan Sangihe dan Talaud. Jenis ini
memiliki tiga anak-jenis, yaitu Eos histrio chalengeri (terdapat
Miangas), Eos histrio talautensis (terdapat di Karakelang, Salibabu, dan
Kabaruan), dan Eos histrio histrio (terdapat di Sangihe, Siau, dan
Ruang).
Burung ini merupakan jenis
pengembara lokal yang menghuni hutan primer dataran rendah dan hutan pebukitan.
Mereka biasanya dijumpai berpasangan atau berkelompok kecil, namun pada waktu
tidur membentuk kelompok yang besar.
Di Karakelang kelompok-kelompok
tidurnya bisa berjumlah diatas seratus ekor. Mereka adalah burung yang sangat
berisik dan cukup menyolok. Dalam mencari makan, mereka suka mengunjungi
pohon-pohon yang sedang berbunga, termasuk pohon-pohon kelapa di daerah
pesisir.
Tak Lagi Ditemukan di Pulau Lain
Di Karakelang mereka dijumpai umum
secara setempat-setempat, tapi di luar Karakelang mereka kelihatannya sangat
jarang atau malah sudah punah. Anak-jenis yang di Miangas (Eos histrio
chalengeri) misalnya, saat ini tidak lagi diketahui nasibnya. Padahal, pada
abad 19 pernah diamati kelompok-kelompok yang besar yang terbang dari pulau ke
pulau untuk tidur.
Di Pulau Sangihe burung ini
dilaporkan terdapat dari daerah Talawid Atas, Kedang, dan di Pegunungan
Sahendarumang (yang terakhir ini mungkin berasal dari burung yang terlepas). Namun
selama survey 1998-99 mereka tidak ditemukan lagi di tempat-tempat tersebut. Ada
keraguan jangan-jangan populasi yang terlihat di Talawid itu adalah burung
tangkapan dari Talaud yang dibawa ke Sangihe dan kemudian terlepas atau sengaja
dilepas.
Pada bulan Februari tahun 1999,
penduduk desa ini melaporkan kalau mereka tidak lagi melihat burung ini di
kampung maupun di kebun-kebun mereka. Karena tidak ada lagi penglihatan yang
bisa dikonfirmasi sejak tahun 1995, maka kemungkinan besar jenis ini telah
punah dari Pulau Sangihe, dan menjadi satu-satunya jenis yang punah dari pulau
ini.
Di Siau burung ini pernah dilaporkan
ada. Seorang penduduk lanjut usia mengatakan burung ini umum dijumpai sewaktu
dia masih kecil. Orang tua ini agaknya benar karena sejumlah spesimen yang
disimpan di beberapa museum diketahui berasal dari pulau ini, diantaranya,
seekor jantan yang dikoleksi pada bulan Februari 1866 (sekarang di RMNH,
Leiden), dan dua lagi yang dikoleksi pada bulan Maret 1871 (sekarang di Museum
Zoologi Bogor).
Meskipun demikian, ada juga pendapat
kalau populasi di Siau ini berasal dari burung-burung yang diintroduksi. Apa
pun pendapat itu, saat ini diyakini bahwa populasi yang di Siau telah punah.
Di Tagulandang, burung ini pernah
dilaporkan umum di bagian tengah pulau pada sekitar tahun 1980-an, tapi
kemudian menjadi langka dan punah pada tahun 1990-an. Di Salibabu dilaporkan
pernah ada hingga sekitar awal 1990-an, tapi laporan-laporan terakhir menyebutkan
kemungkinan telah punah.
Namun demikian, laporan tahun 2003
cukup membesarkan hati karena burung ini katanya masih terlihat dalam bulan
Juni 1999, walaupun populasinya kecil dan kelihatannya terbatas pada habitat
primer di bukit-bukit bagian tengah pulau.
Di Kabaruan tidak ada data dan
kemungkinan mereka sudah punah. Ancaman utama terhadap burung ini adalah
penangkapan untuk perdagangan, penebangan pohon-pohon tidurnya, dan juga
perusakan hutan.
Dengan situasi seperti diatas, maka
populasi Sampiri secara global tinggal terbatas di Pulau Karakelang saja. Hasil
survey yang dilakukan bulan Maret-Juni 1999 menunjukkan bahwa populasinya
disini berkisar antara 15 s/d 28 ekor per kilometer persegi di hutan primer dan
5 s/d 19 ekor per kilometer persegi di habitat sekunder.
Angka-angka tadi setara dengan
jumlah total kira-kira 8.230 – 21.400 ekor untuk seluruh pulau. Angkat-angka
tersebut juga menunjukkan bahwa populasi Sampiri masih stabil atau sedikit
menurun bila dibandingkan dengan survey tahun 1996.
Penelitian-penelitian sebelumnya
menyimpulkan bahwa ancaman terhadap burung ini di Karakelang adalah
berkurangnya luas hutan dan adanya penangkapan. Sekalipun bisa mencari makan di
habitat-habitat sekunder dan sering terlihat di perkebunan kelapa, burung ini
sebenarnya memerlukan pohon-pohon hutan untuk bersarang dan tidur.
Selain itu mereka juga lebih umum
ditemukan sedang mencari makan di dalam hutan daripada di habitat sekunder. Penangkapan
untuk perdagangan nampaknya merupakan ancaman yang paling utama.
Sebagai contoh, selama tahun 1997
saja, ada kira-kira 1.000 ekor burung yang telah dikeluarkan dari Karakelang. Dan
keadaan ini nampaknya berlangsung sampai sekarang dimana kita masih bisa
menemukan orang menyeludupkan keluar Sangihe dan Talaud lewat kapal.
Keadaan diatas membuat burung yang
dilindungi Undang-Undang ini digolongkan ke dalam status “Genting” (menghadapi
resiko kepunahan sangat tinggi di alam dalam waktu dekat) dengan populasi yang
berkurang terus.
*
Artikel ini disadur dari buku
“Panduan untuk Guru” yang diterbitkan oleh Burung Indonesia. Dipublikasi ulang
untuk tujuan pendidikan.
**
Michael Wangko, ketua KOMPAK, merupakan salah
satu tim penulis dalam buku tersebut.
1 komentar
Permisi, selamat siang. Adakah kontak yang dapat dihubungi dari KOMPAK TALAUD ini? Saya tertarik dan ingin belajar lebih terkait burung nuri sulawesi ini. terimakasih.
BalasHapus